Falsafah Pragmatisme benar-benar mendominasi dunia kerja. Sekalipun nilai dan praksis agama masih ditemukan dalam dunia kerja, laju falsafah yang didukung sosok seperti Peirce, James dan Dewey tak terbendung.
Di perusahaan-perusahaan yang relatif besar, masih ada ruangan untuk sembahyang, masih ada mushola. Menejemen perusahaan masih mengijinkan ruangan dipakai untuk acara kebaktian. Ada anggaran untuk membiayai kegiatan agama. Masih ada tunjangan Hari Raya Keagamaan.
Namun, fakta-fakta ini bukanlah menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dominan dalam dunia kerja. Sikap ini hanya merupakan bentuk kompromi dan toleransi terhadap agama. Yang dominan adalah pikiran Pragmatisme.
Pragmatisme adalah satu pikiran yang menghubungkan teori dan praktek; falsafah yang menekankan makna tindakan manusia dalam dunia pengetahuan dan pengalaman hidup sehari-hari.
Berbeda dengan pengikut agama yang menganggap bahwa kebenaran adalah mutlak, kaum pragmatis tidak melihatnya demikian. Kalaupun ada yang disebut kebenaran, yang menjadi ukuran adalah keuntungan. Bila keyakinan memberikan faedah kepada pengikutnya, keyakinan itu akan disebut kebenaran. Bila tidak, keyakinan itu bukanlah kebenaran.
Hampir semua penduduk di republik ini percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Rajin sembahyang, membaca Kitab Suci, berdoa, berpuasa, dan melakukan berbagai ritual agama lainnya, tapi itu semua hanya tindakan figuran untuk memuaskan tuntutan sosial sebagai orang yang beragama.
Etika-etika universal tergusur. Apa yang disebut kejujuran, menghargai milik orang lain, dan mengatakan yang benar semakin tersisih. Etika-etika semakin tersisih oleh karena daya tarik keuntungan. Menyedihkan, tapi itulah realita dunia kerja di republik ini.
Dunia kerja seperti ini membuat manusia bekerja hanya untuk mengejar keuntungan. Menipu, mengambil milik orang lain, berbohong atau 'memberikan' wanita bukan lagi tindakan yang salah. Yang paling penting adalah bagaimana mendapat keuntungan. Hasil diutamakan, bukan proses. Demikianlah anjuran falsafah Pragmatisme ini.
Akibatnya, muncul konflik; yang pro dan kontra nilai-nilai agama saling 'menyikut' dan yang menyedihkan, pengikut falsafah Peirce, James dan Dewey ini sering berhasil dan menduduki jabatan-jabatan strategis di kantor. Yang memegang nilai-nilai agama pun semakin tersudut.
Dengan membludaknya pendukung falsafah 'yang-penting- untung' di lingkaran pemegang saham- ini membuat Pragmatisme semakin merajalela dalam dunia kerja.
Bagaimana nasib dunia kerja di masa-masa mendatang bila falsafah yang menekankan keuntungan ini terus bercokol? Mungkinkah dunia kerja akan lebih baik? Mungkinkah Indonesia Raya tercapai? Yang jelas falsafah Pragmatisme berbenturan dengan sila pertama. Falsafah ini menolak eksistensi Tuhan.
Para pendiri republik ini membentengi negeri ini dengan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka yakin bahwa hanya dengan menjunjung dan menerapkan nilai-nilai Pancasila, visi Indonesia Raya- negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur- bisa terwujud.
Renungan:
Link Terkait
Menghormati Orang Tua: Salah Satu Pilar-Etika Terpenting untuk Sesama
Etika Meminjam Uang kepada Orang Lain
Etika Konfusianisme: Perkenalan
Dominasi Falsafah Pragmatisme dalam Dunia Kerja
Etika Menonton di Aula Simfonia Jakarta
Pagelaran Musik Klasik di Aula Simfonia Jakarta
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com
Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)