Filosofi Teras Filsafat Stoa
Sudah beberapa kali saya lihat judul buku Filosofi Teras di toko buku, tetapi tak tertarik untuk membelinya.
Sudah punya beberapa buku Filsafat termasuk buku Introduction to Philosophy yang ditulis oleh Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg dan Sophie's World (Dunia Sophie), yang ditulis oleh Jostein Gaarder; dua buku yang bagus bagi pemula dalam bidang Filsafat.
Semalam saya putuskan membeli buku Filosofi Teras, yang judul bukunya merupakan
terjemahan langsung dari kata Filsafat Stoa.
Filsafat Stoa digagas oleh Zeno 2300 tahun lalu. Filsafat ini berkembang sampai abad ketiga sesudah Masehi.
Berapa
sosok terkenal dalam arus filsafat ini adalah Marcus Aurelius, Kaisar
Romawi yang hidup pada 161-180 AD, Seneca, yang dianggap jagoan dalam
public speaking (retorika), Epictetus, Cato the Younger, seorang
politisi dan negarawan yang terkenal karena berani melawan Julius
Caesar, George Washington dan Thomas Jefferson, Presiden Amerika
Serikat.
Filsafat Stoa merupakan turunan dari filsafat Socrates. Bagi Socrates, akal adalah ukuran dari segala sesuatu. Akal menilai segala sesuatu termasuk peristiwa, pemikiran-pemikiran yang disampaikan atau pernyataan-pernyataan yang bernuansa filosofis.
Akal menjadi sesuatu yang mutlak dan menentukan benar tidaknya, baik tidaknya atau penting tidaknya sesuatu. Dan supremasi akal ini mendasari Filsafat Stoa.
Filsafat Stoa merupakan sebuah cara bagaimana hidup (A Way of Living). Filsafat ini mengajak pengikutnya untuk berpikir rasional ketika melihat sesuatu atau peristiwa. Apapun yang terjadi- itu dilihat dari sudut pandang rasio.
Menurut ajaran Stoa, tidak ada peristiwa yang terjadi begitu saja. Semua yang terjadi di bawah kolong langit mengikuti hukum alam. Ada prinsip yang mendasari setiap peristiwa sehingga pengikut Stoa berusaha hidup sesuai dengan hukum alam.
Apakah itu kelahiran, mendapat keuntungan, menjadi kaya, ditinggal pacar, putus cinta, cerai, mendapat jabatan, kehilangan jabatan, sakit, mati, dan segala peristiwa yang terjadi pada diri, orang lain dan sekitarnya- ini semua mengikuti hukum sebab-akibat. Ada hukum alam dan yang melanggar hukum alam akan menerima akibatnya.
Karena dibalik segala sesuatu dan peristiwa ada hukum alam, tidak perlu muncul reaksi yang berlebihan terhadap setiap peristiwa. Tidak perlu bersikap ekstrim terhadap peristiwa atau keadaan yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Pengikut Stoa berusaha bebas dari emosi-emosi positif seperti senang, gembira, tertawa terbahak-bahak, atau emosi-emosi negatif seperti kesal, marah, cemburu, iri, dengki dan emosi negatif lainnya.
Kalau ditipu orang lain tidak marah; ditabrak orang tidak mencari siapa yang salah; kalau ada orang mati tidak bersedih; kalau harta banyak tidak jadi bangga; kalau mendapat jabatan tinggi tidak berperilaku aneh; kalau mendapat gaji kecil tidak iri kepada orang lain yang bergaji besar; kalau orang lain korupsi tidak ikut-ikutan korupsi; kalau ada kelebihan apa saja tidak menjadi sombong. Filosofi Teras Filsafat Stoa
Tidak pamer motor mahal, mobil mewah, rumah mewah atau pamer foto diri bila sedang di tempat-tempat yang wah. Emosi dijaga setenang mungkin. Bahkan ketika dalam kesulitan pun tidak mengeluh; tidak menyalahkan orang lain kalau ada yang tidak beres atau memberi komentar sinis karena mendengar opini orang lain.
Kalau ada masalah dicari penyebabnya dan dipecahkan tanpa banyak komentar. Kira-kira begitu arus berpikir Filsafat Stoa.
Pengikut Filsafat Stoa mengasah kebajikan selama hidupnya. Kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan menahan diri- ini 4 kebajikan utama menurut pengikut Stoa. Dan
saat seseorang fokus mengasah kebajikan dan meraihnya- itulah yang membuat ia bahagia. "Seorang praktisi Stoa seharusnya merasakan sukacita yang terdalam karena ia mampu menemukan kebahagiannya sendiri, dan tidak menginginkan sukacita lain selain yang datang dari dalam," tulis Seneca.
Jadi, bahagia tidak terletak pada hal-hal yang berada di luar diri atau materi- rumah mewah, mobil mewah, uang miliaran di bank, gelar berderet, tetapi pada pengejaran kebajikan.
Seneca mengatakan, "Tidak
ada orang yang memiliki kekuatan untuk memiliki semua yang mereka
inginkan, tetapi mereka memiliki kekuatan untuk tidak menginginkan apa
yang tidak mereka miliki, dan dengan senang hati memanfaatkan apa yang
mereka miliki."
Fokus Pada Tindakan
Filsafat
Stoa menyeimbangkan antara teori dan tindakan. Bagi pengikut Stoa, tidak
ada artinya mempelajari banyak teori atau pengetahuan kalau tidak
berujung pada tindakan nyata. filsosofi teras filsafat stoa
Bukan banyaknya pengetahuan yang menjadi fokus para pengikut Stoa, tetapi tindakan-tindakan yang praktis. Meminjam frase dari Sumatera Barat, ada uang ada barang.
Tidak ada pengikut Stoa yang duduk manis dan dapat uang dengan cara yang tidak etis. Siapa yang kerja berhak makan. "Jangan buang waktu lagi untuk berdebat seperti apa seharusnya pria yang baik itu. Jadilah pria yang baik," kata Marcus Aurelius.
Tidak Terganggu dengan Hal-Hal yang Tidak Dapat Dikendalikan
Filsafat Stoa mengajar pengikutnya untuk tidak terganggu dengan apa yang tidak dapat ia kendalikan. Orang lain marah, berbuat jahat, sinis, bertindak brutal, menipu, merampok, atau melakukan korupsi- pengikut Stoa tidak terganggu.
Ia justru mengambil sikap bagaimana menguasai diri untuk melihat dan menghadapi situasi-situasi demikian. Pengikut Stoa tidak akan berdemo besar-besaran membuat kebisingan dan membawa pengeras suara untuk menyuarakan tuntutannya di jalan atau di depan gedung pemerintah.
Dia berusaha menahan diri dan tidak terganggu dengan keadaan yang buruk yang tidak ada dalam kendalinya.
"Tuhan berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya," kata Epictetus.
Menjadi pengikut Stoa tidak memerlukan ritual-ritual khusus seperti yang dilakukan sebagian orang yang berusaha mencari kedamaian seperti puasa, memberi sajian pada hari-hari tertentu, doa semalam suntuk atau mandi jam dua pagi. Tidak.
Pengikut Stoa pragmatis. Tidak banyak berteori. Meminjam frase iklan Nike belasan tahun lalu, "Just Do it."
Mereka berlatih menerapkan apa yang dipelajari dan displin melakukannya.
Apakah Filsafat Stoa Cukup?
Sangat menarik mengetahui bagaimana Filsafat Stoa dapat membantu mengejar kebajikan dan bagaimana manusia alami dapat menjadi sosok yang bijaksana, adil, berani dan mampu menahan diri.
Namun demikian, ada pertanyaan. Apakah Filsafat Stoa akan membuat pengikutnya bahagia? Apakah dengan munculnya kebajikan akan membuat ia bahagia?
Anda mungkin berpandangan lain. Sebagian orang akan beranggapan bahwa
kebahagiaan tidak juga terletak pada pengejaran kebajikan.
Kalau begitu, apa yang membuat seseorang sungguh-sungguh bahagia? (JM)
Akar Kebahagiaan Menurut Warren Buffett
Diskusi Agama Islam dan Kristen, Adakah Titik Temu?
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com