Kehidupan Bernegara
Saya terdorong menulis topik ini setelah melihat peristiwa-peristiwa penting akhir-akhir ini, khususnya peristiwa 411, kemudian diikuti dengan peristiwa 212.
Kehidupan bernegara kita pun terusik. Sendi-sendi negara dan kebangsaan mendapat tantangan yang serius. Apapun alasan atau motif dibalik semua peristiwa itu- apakah politik, agama atau yang lain, dua peristiwa itu dan kaitannya dengan kasus dugaan penistaan agama, ini menjadi pekerjaan rumah kita ke depan, yaitu bagaimana relasi antara agama dan negara.
Di Konstitusi kita, kehidupan bernegara sudah jelas diatur dan juga jelas apa sendi-sendi atau fondasi dari negara kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945 dan perubahannya.
Negeri kita bukanlah negara agama, bukan pula negara berdasarkan suku. Para Pendiri Bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi kita.
Selain itu, masih ada Sumpah Pemuda dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika- berbeda-beda tetapi tetap satu. Kita memiliki lagu kebangsaan Indonesia Raya dan belasan bahkan puluhan lagu yang digubah untuk membangun dan memperkokoh kehidupan berbangsa.
Ada lagu Indonesia Tanah Air Beta, Satu Nusa Satu Bangsa, Bagimu Negeri- dan belasan lagu nasional lainnya yang telah digubah untuk mengikat bangsa kita yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa dan beragam agama dan budaya, yang disatukan dalam satu istilah, Bangsa Indonesia.
Usaha-usaha untuk membuyarkan fondasi bangsa dan Negara kita sudah ada sejak berdiri negeri ini. Ada saja gerakan-gerakan separatis yang mencoba mengganggu NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945nya.
Untunglah semua gerakan-gerakan separatis itu tidak berhasil. Pernah juga ada usaha pengikut faham komunis lewat Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjerumuskan negeri kita ke kondisi yang lebih ngeri.
Namun, usaha-usaha itu gagal. Dengan adanya peristiwa 411 dan 212, mau tidak mau, kita perlu segera berpikir dan melihat kembali apa tujuan kita sebagai bangsa dan negara.
Dari sisi agama, mayoritas bangsa kita beragama Islam. Di sisi lain, ada juga suku-suku yang tidak beragama Islam yang sudah eksis ratusan tahun di Nusantara.
Jadi, sekalipun memang ada agama mayoritas, para pendiri bangsa kita bijak dan tidak membuat agama sebagai dasar negara.
Para Pendiri Bangsa kita memahami bahwa sulit masyarakat disatukan dalam satu agama dan bila ada usaha-usaha itu, masyarakat atau bangsa tersebut akan mengalami kemunduran terlebih-lebih dengan kondisi bangsa kita saat awal berdiri republik ini.
Kita memang perlu menyelidiki lebih lanjut kisah mengapa para Pendiri Negeri ini tidak membuat agama sebagai landasan negara kita.
Sekilas bisa disebut alasan karena para Pendiri Bangsa kita sudah bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Barat, khususnya mereka yang pernah mendapat pendidikan di Eropah pada zaman itu seperti sosok Bung Hatta yang mendapat pendidikan di Belanda.
Mereka mendapat pemikiran bagaimana negara-negara di Barat berusaha 'membedakan' antara agama dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, ada pemisahan wilayah agama dan politik sekalipun tetap punya hubungan pada titik tertentu.
Kehidupan politik memang selalu berdasarkan suara terbanyak atau yang sering disebut demokrasi, tetapi agama tidak dapat disamakan atau diputuskan secara demokrasi.
Fondasi Negara kita sudah ditentukan secara demokrasi dan ini menjadi model hampir di seluruh negara-negara di dunia. Namun demikian, kita perlu menyegarkan kembali apa peran agama dalam kehidupan bernegara. (JM)
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com
Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)