Memilih jurusan di perguruan tinggi sering diwarnai alasan-alasan pragmatis. Mudah mendapat pekerjaan, uang, atau imej merupakan alasan-alasan yang dominan. Itu saya alami ketika mau kuliah. Saya memilih jurusan karena alasan uang.
Saya tidak memahami pentingnya relasi antara bakat dan pilihan jurusan ketika masih di SMA. Tidak ada informasi dari guru ataupun orang tua tentang pentingnya mengambil jurusan sesuai bakat.
Yang terlintas dalam pikiran adalah bagaimana agar punya gelar dan bisa kerja. Bagi orang tua saya pun- itu sudah cukup.
Tahun 1982, saya berangkat ke Jakarta dengan naik kapal laut Tampomas.
Setelah tiba di Jakarta, besoknya saya langsung berangkat ke Bandung
untuk mengikuti ujian PERINTIS I, sebutan untuk ujian saringan masuk ke
perguruan tinggi kelompok I (USU, UI, IPB, ITB, UNPAD, UGM, UNBRAW, ITS)
pada waktu itu.
Ditemani oleh kenalan yang sudah dua tahun di Bandung, saya mengisi formulir pendaftaran ujian PERINTIS I.
Saya tidak ragu memilih Teknik Elektro sebagai pilihan pertama, tetapi tidak punya opsi untuk pilihan kedua. Setengah jam saya mempertimbangkan pilihan kedua, tetapi tidak ada opsi yang menarik.
Kenalan saya memberi beberapa usulan. Ia menawarkan jurusan Teknik Mesin, Teknik Industri, Teknik Kimia, Teknik Pertambangan dan Geologi. Semuanya saya tolak.
Saya menolak jurusan Teknik Mesin karena takut tidak lulus. Ranking jurusan Teknik Mesin hampir sama dengan jurusan Elektro pada waktu itu. Bila gagal di jurusan Teknik Elektro, kemungkinan besar akan gagal juga di jurusan Teknik Mesin.
Saya menolak Teknik Industri karena jurusan ini menawarkan mata kuliah ekonomi, pelajaran yang tidak saya sukai di SMA.
Jurusan Teknik Kimia juga saya tolak karena kapok dengan pelajaran Kimia Karbon di kelas III SMA. Jurusan Teknik Pertambangan dan Geologi saya tolak karena tidak pernah mendengar jurusan-jurusan ini.
Saya mengikuti ujian PERINTIS I. Namun, saya pesimis akan hasilnya. Dari 200 soal Ujian PERINTIS I, saya pikir saya hanya bisa menjawab jauh di bawah minimum persyaratan untuk masuk ke ITB.
Tidak ada peluang untuk kuliah di institut yang bergengsi itu. Saya siap-siap mau kembali ke Medan untuk mengejar waktu pendaftaran bagi pemenang lewat test pemanduan bakat di USU.
Beberapa waktu kemudian, hasil ujian PERINTIS I diumumkan. Ketika saya baca hasilnya di koran, nama saya tidak muncul di jurusan Teknik Elektro. Perasaan saya biasa saja karena saya sudah duga bakal tidak diterima.
Kemudian, saya lihat daftar nama yang diterima di jurusan Teknik Perminyakan; nama saya ada. Saya setengah tidak percaya. Saya pejamkan mata saya untuk memastikan apakah ini halusinasi atau bukan.
Saya buka mata saya dan baca kembali. Nama saya masih muncul. Saya tanya sepupu, yang kebetulan menemani saya, untuk memastikan apakah nama saya tertulis di jurusan Teknik Perminyakan.
Sepupu saya memberi konfirmasi 'ya'. Saya sangat
senang. Saya meloncat-loncat di trotoar jalan di bawah tol Cawang karena begitu senangnya.
Hanya dua bulan saya menikmati kuliah di Teknik
Perminyakan. Setelah itu, minat kuliah sirna. Minat semakin memudar
mendengar info bahwa untuk lulus dari jurusan ini butuh waktu minimal 8
tahun. Anehnya, dalam keadaan begitu, ada tawaran beasiswa dari
PERTAMINA.
Singkat kata, saya melamar, mengikuti ujian seleksi dan diterima, tapi harus di jurusan yang sama. Saya berpikir pendek.
"Dari pada 8 tahun kuliah di ITB, lebih baik kuliah
dengan waktu yang lebih singkat di luar negeri," begitu pikirku. Saya terpaksa kuliah
di jurusan yang tidak saya sukai sampai selesai studi di luar negeri.
Setelah
lulus kuliah, saya diterima bekerja di Marathon Petroleum Indonesia
Ltd. Saya ditugaskan di Departemen Engineering. Namun, hanya tiga tahun
saya punya gairah kerja.
Kinerja tidak begitu menonjol. Delapan tahun
ditambah enam tahun kuliah dan kursus bahasa Inggris, saya 'mengembara di padang pasir', belajar dan mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat. (JM)
Pada tahun 1996, saya meminta agar dipindahkan ke bagian Sumber Daya Manusia (SDM), pekerjaan yang sudah saya pertimbangkan sejak mulai kerja. Menejemen menyetujui permohonan saya.
Gairah kerja mulai muncul sekalipun tidak semulus yang saya harapkan. Sampai hari ini pemikiran mengerjakan pekerjaan sesuai bakat terus tertanam dalam pikiran saya. (JM)
Renungan:
Link Terkait
Menilai Tinggi Kecerdasan Melalui Pendidikan
Beberapa Tujuan Pendidikan yang Pernah Muncul dalam Sejarah
Manusia Sebagai Fokus Pendidikan
Tanggung Jawab dan Peran Orang Tua dalam Pendidikan
Kecakapan Dasar yang Anda Perlukan untuk Berkiprah di Dunia Kerja
Melatih Pikiran dengan Membaca
Mata Kuliah Filsafat: Mungkinkah Dimasukkan ke Kurikulum Mahasiswa
Akibat Salah Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi
Kapan Masa Berlaku Sebuah Gelar Akademis?
Jangan Pernah Berhenti Belajar
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com
Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)