Bagaimana membendung paradigma Barat? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
perlu diketahui apa yang disebut dengan paradigma (worldview) Barat.
Sering
kali worldview Barat dikaitkan dengan kekristenan. Secara historis,
worldview Barat memang sudah 'bersintesis' dengan agama Kristen
hampir 2000 tahun sejak Kekristenan masuk ke Eropah di pertengahan abad
pertama.
Kekristenan berhadapan 'face-to-face' dengan filsafat Yunani dan Romawi kuno, tetapi Kekristenan mendapat penganiayaan hebat dari elit kekaisaran Romawi hampir selama 300 tahun.
Baru pada tahun 311, penganiayaan itu berhenti dan agama Kristen diakui oleh Kaisar Romawi, Konstantin, bahkan dibuat menjadi agama resmi 70 puluh tahun berikutnya.
Namun, kemenangan ini tidak serta merta membawa kemajuan di Eropah. Sekalipun Kekristenan menjadi agama resmi di kaisaran Romawi pada tahun 380, Kekristenan bukan menjadi agama yang membawa kemajuan dan kemakmuran.
Kekaisaran malah justru mengalami kemunduran di segala bidang termasuk budaya bahkan Kekaisaran Romawi di bagian Barat hancur di abad ke 6 dan menyisakan kekaisaran di bagian Timur, yang bertahan sampai abad ke 14.
Tentu, kemunduran ini bukan semata-mata karena kekristenan,
tetapi bagaimana pun, sikap elit kekaisaran dan masyarakat terhadap kekristenan dan elit
agama secara umum bisa juga menjadi salah satu pemicu.
Salah satu penyebab kemunduran peradaban Eropah mulai abad ke empat sampai abad ke 13 adalah hasil dari assimilasi antara agama Kristen dan filsafat dari Yunani kuno selama 1000 tahun, yaitu masih kuatnya filsafat Yunani kuno di kalangan elit agama.
Dan salah satu figur yang sangat penting di sini adalah Agustinus, sosok yang sangat berpengaruh di zamannya.
Ia dipengaruhi oleh filsafat
Plato atau Neoplatonism, yang pemikiran-pemikiran teologisnya mempengaruhi kekristenan selama 1000
tahun kemudian bahkan pengaruhnya masih tetap ada sampai sekarang baik di kekristenan maupun dunia, khususnya di bidang politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Agustinus telah
meletakkan dasar-dasar yang begitu penting bagi Kristenan dan
peradaban Barat, khususnya bagi teologi Marthin Luther, pencetus Reformasi di
Jerman, dan teologi John Calvin dari Prancis, tokoh Reformasi generasi kedua, yang menegakkan kembali Reformasi.
Namun, pada era Reformasi dan dua abad sesudahnya pengikut arus Renaisance, yang muncul di abad ke 14 dan eksis sampai abad ke 16, menghidupkan kembali filsafat dan karya-karya
Romawi dan Yunani kuno, dan mengambil jalan yang berbeda dari elit agama.
Pengikut Renaisance fokus pada pengembangan budaya, khususnya ilmu pengetahuan dan seni, sementara para elit agama di Eropah banyak menghabiskan waktu dalam perang agama, membenahi doktrin-doktrin gereja dan 'meninggalkan' bidang-bidang non-religius seperti ilmu pengetahuan dan seni.
Munculnya filosof seperti Rene Descartes dan Francis Bacon membuat Eropah dikuasai arus Renaisance yang berhaluan humanisme, yang presuposisinya adalah otonomi rasio.
Rasio menjadi otonom dan filsafat ini mempengaruhi para ahli ilmu pengetahuan dan seni. Hal-hal yang supra natural disingkirkan dari kehidupan dan budaya dan tidak diperhitungkan lagi dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan seni.
Terjadilah pergeseran pusat kehidupan di Eropah. Yang tadinya gereja adalah pusat masyarakat, saat ini pusatnya menjadi rasio. Ada perubahan paradigma; agama tersingkir dan rasio menjadi sentral.
Munculnya Sir Isaac Newton, yang menggabungkan filsafat Descartes dan Bacon, membuat filsafat humanisme di Eropa semakin kokoh, mendominasi dan merajalela di hampir semua lapisan kehidupan.
Bahkan penerus humanisme dari Barat ini berekspansi ke luar Eropa- Amerika, Asia dan Afrika dan mempengaruhi dunia sampai sekarang.
Mungkinkah membendung paradigma Barat? Ini merupakan pertanyaan besar. Bila paradigma Barat berkembang terus dengan falsafah humanismenya, sudah dapat diprediksi bahwa negara-negara Barat akan menjadi negara-negara barbarian modern.
Di manapun sebuah negara atau masyarakat meninggalkan
Sang Ilahi, negara atau masyarakat itu akan mengalami kemunduran.
Salah
satu indikasi ke arah ini adalah dilegalkannya perkawinan sesama jenis
kelamin. Hanya tinggal menunggu waktu saja negara-negara di Eropah dan
Amerika Utara eksis kecuali ada perubahan paradigma yang menempatkan
kembali Sang Ilahi sebagai pusat kehidupan.
Indonesia, dengan dasar
negaranya adalah Pancasila, masih memiliki harapan. Tuhan masih begitu
dihargai di republik ini. Namun, ini tergantung pada sejauh mana elit agama, masyarakat, elit politik dan pemerintah dapat mengambil
pelajaran dari sejarah peradaban Barat.
Apakah NKRI akan memetik pelajaran dari situ? Waktu akan kasih bukti. (JM)
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com