Agar program revolusi mental sukses dalam
tataran praksis, di halaman ini disajikan penjelasan tambahan mengenai relasi jiwa
dan tubuh. Ini perlu agar ada sinkronisasi antara kebijakan dan program
transformasi mental di lapangan. Paling tidak, program apapun yang mau
dilaksanakan, program itu berangkat dari asumsi relasi-tubuh-jiwa yang
tepat.
Saya membuat catatan di sini bahwa istilah transformasi mental lebih tepat dari pada 'revolusi mental.' Namun demikian, istilah revolusi mental tetap saya gunakan
karena istilah ini sudah digunakan secara nasional. Saya akan
berkompromi dalam penggunaan istilah ini selama makna yang dimaksud adalah transformasi mental.
Tentu kunci rahasia sukses program tidak tergantung pada satu atau dua
faktor saja, tetapi banyak faktor. Salah satu adalah pemahaman terhadap
relasi antara jiwa dan tubuh. Ini perlu dipelajari lebih dalam karena
ide atau pemikiran dan tindakan merupakan sebuah kesatuan dari
eksistensi manusia. Kata-kata yang diucapkan, tindakan dan bahasa
tubuh merupakan sisi yang kelihatan dari pribadi seseorang. Ini gambaran
dari kondisi jiwa, pikiran atau hati seseorang. Jiwa, hati atau pikiran
menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Ide atau pemikiran yang terlintas
atau singgah dalam jiwa atau pikiran tidak dapat dilihat secara jelas,
tetapi kata-kata, tindakan, perasaan dan bahasa tubuh menggambarkan jiwa
atau pikiran.
Ide atau pemikiran masuk ke dalam pikiran
terutama melalui mata atau telinga dan selanjutnya secara phisik
diteruskan ke otak. Idea atau pemikiran bisa juga muncul dari hasil
perenungan. Ketika melamun atau berkhayal, ide termasuk ide kreatif bisa
bermunculan dalam pikiran. Ide atau pemikiran kemudian diolah, tetapi
sebelum ide itu diproses dalam bentuk kata, tindakan, perasaan atau
bahasa tubuh (aspek phisik), ada relasi proses yang terjadi antara otak
(tubuh) dan jiwa. Tidak diketahui persis bagaimana proses ini bekerja.
Namun, dengan bantuan alat berteknologi tinggi, kondisi otak atau
kondisi sel-sel otak dapat divisualisasikan ketika seseorang dalam
suasana gembira atau sedih. Namun, bagaimana otak atau tubuh
berinteraksi dengan jiwa- ini tetap misteri.
Memang ada teori-teori mengenai eksistensi manusia. Ada teori yang mengatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh; masih ada teori yang mengatakan manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Kalau mau memahami lebih jauh mengenai aspek-aspek ini, banyak pertanyaan bisa muncul dan itu sulit dijawab. Misalnya, apa perbedaan antara jiwa dan roh, perbedaan antara jiwa dan hati, perbedaan antara otak dan pikiran, perbedaan antara pikiran dan jiwa dan perbedaan hati dan hati nurani? Memahami makna istilah-istilah ini saja bisa membuat kita putar otak. Sekalipun istilah-istilah ini diketahui dan pernah diucapkan, tetapi apa makna dari istilah itu belum tentu dipahami.
Pertanyaan-pertanyaan lain misalnya, 'Di mana akal sehat dan rasio berada? Di mana kemarahan atau emosi tinggal? Di mana perasaan dan intuisi bersemayam? Di mana hawa nafsu bersembunyi? Di mana pengambilan keputusan terjadi?' Pertanyaan inipun tidak mudah terjawab.
Program Revolusi Mental
Eksistensi manusia terdiri dan tubuh-jiwa. Saya tidak selipkan kata 'dan' karena kedua aspek ini menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Roh, hati, pikiran dan jiwa menyatu dengan tubuh. Namun, roh, hati, pikiran atau jiwa mengacu kepada substansi yang sama, tetapi ada pembagian fungsi. Logika menjadi fungsi dari pikiran, bukan oleh hati. Membedakan apa itu benar dan salah secara moral- ini fungsi hati. Emosi terjadi dalam hati. Dalam kasus-kasus tertentu, emosi juga bisa menembusi pikiran. Ketika pikiran menemukan kebenaran, pikiran bisa tenang dan hati bisa bersukacita disertai emosi yang meluap.
Namun, ketika manusia mati, tubuh dan jiwa berpisah. Kita tidak tahu ke mana jiwa orang yang meninggal pergi- apakah ke surga atau ke neraka. Perkiraan-perkiraan saja yang bisa dibuat sesuai dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan orang yang sudah mati ketika ia hidup. Apakah memori orang itu akan dibawa ke alam baka? Atau memori atau kenangan tinggal di sel-sel otak yang sudah membusuk? Ini pertanyaan-pertanyaan yang sulit.
Dengan memahami relasi tubuh dan jiwa, kunci sukes program revolusi mental bisa dirumuskan. Paling tidak, kebijakan bisa diambil dengan membuat asumsi bahwa kebutuhan jiwa dan tubuh harus dalam keseimbangan. Penekanan pada satu sisi akan membuat program revolusi mental timpang; bisa muncul manusia-manusia yang ekstrim. Ada yang melulu hanya mencari hal-hal yang surgawi sementara yang lain melulu mencari hal-hal duniawi. Bukan itu yang diharapkan dari manusia Indonesia seutuhnya, tetapi ada keseimbangan antara rohani dan jasmani karena jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh. (JM)
Renungan:
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com
Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)
Bagaimana Mewujudkan Revolusi Mental?